1/05/2009

Masyarakat Adat Baduy dan Kearifan Tradisionalnya dalam Pengelolaan dan Pemanfataan Sumberdaya Alam





Pendahuluan

Masyarakat Baduy merupakan salah satu dari masyarakat adat di Indonesia yang masih memegang teguh adat istiadat dan tradisi turun temurun dari nenek moyangnya. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No. 32 Tahun 2001 tentang perlindungan atas hak ulayat masyarakat Baduy, masyarakat Baduy hidup di kawasan hutan pedalaman di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Suku Baduy terdiri dari dua kelompok, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Baduy Dalam terdiri dari 3 desa, yaitu Cibeo, Cikertawarna dan Cikeusik, sedangkan Baduy Luar terdiri dari 51 desa (Kusdinar, 2004).
Kehidupan masyarakat Baduy yang selaras dengan alam (kawasan hutan) tidak lepas dari pengaruh kepercayaan yang dianutnya yaitu agama/kepercayaan
sunda wiwitan serta aturan-aturan adat yang disebut pikukuh atau pantangan-pantangan masyarakat Baduy. Mengingat kehidupannya yang masih sangat bergantung pada alam membuat masyarakat Baduy selalu memegang teguh ketentuan atau aturan-aturan tersebut guna menjaga keharmonisan dengan lingkungan sekitarnya. Kondisi alam khususnya hutan di wilayah Baduy tergolong masih dalam keadaan baik pada zaman sekarang yang marak dengan kerusakan lingkungan. Hal ini terbukti dengan pesona alam yang eksotik, keunikan masyarakat serta kearifan budaya yang dimilikinya sehingga membuat wilayah Baduy dimasukkan ke dalam Tujuh keajaiban Banten (Seven Wonders Of Banten) (Parlupi, 2003).

Bentuk Kearifan Tradisional Masyarakat Baduy
Kearifan tradisional pada masyarakat Baduy dapat terlihat dari pola kebudayaannya seperti pola sikap, pola tindak dan pola sarana benda. Bentuk-bentuk kearifan tradisional masyarakat Baduy diantaranya adalah :

Bidang Kehutanan
Masyarakat Baduy membagi lahannya menjadi
tiga bagian yang terdiri dari: Leuweung titipan (hutan titipan), Leuweung tutupan (hutan tutupan), lahan garapan/ladang/huma.

  1. Leuweung titipan/ hutan titipan merupakan hutan yang dipercayai oleh masyarakat Baduy sebagai titipan Yang Maha Agung yang wajib dijaga, sehingga tidak boleh dilakukan aktivitas apapun didalamnya maupun tidak boleh seorangpun yang masuk ke dalamnya.

  2. Leuweung tutupan/ hutan tutupan merupakan hutan hampir sama dengan hutan titipan namun boleh dimanfaatkan (diambil kayunya) apabila ada keperluan seperti membuat rumah dan jumlah kayu yang boleh diambil pun terbatas.

  3. Lahan garapan merpakan lahan yang dipergunakan masyarakat Baduy untuk melakukan kegiatan berladang sebagai seumber mata pemcahariannya.

Pembagian lahan beserta fungsinya yang dilakukan masyarakat Baduy secara tidak langsung sama dengan pengelolaan hutan yang dilakukan oleh pemerintah khususnya departemen kehutanan, severti hutan konservasi (Taman Nasional) namun namanya/sebutannya berbeda. Pada kawasan konservasi yang dikelola oleh departemen kehutanan, hutan dibagi dalam tiga bagian yang disebut zona yang terdiri dari; zona inti yang fungsinya sama dengan leuweung titipan, zona rimba yang sama dengan leuweung tutupan, dan zona pemanfaatan yang sama dengan lahan garapan.

Bidang Pertanian (Perladangan/Huma)
Masyarakat Baduy memilih mata pencaharian berladang, hal ini terkait dengan konsep yang dianutnya, bahwa daerah Kanekes menurut pengakuan masyarakat Baduy bersawah adalah tabu atau
buyut. Pertanian sawah tidak mungkin dilakukan bagi masyarakat Baduy karena menurut kepercayaannya membelokkan atau membendung air tidak boleh.
Masyarakat Baduy, mengenal lima macam
huma (Talun) yaitu (1) huma serang (di Tangtu) biasanya hasil padi diperuntukan bagi upacara kapuunan; (2) huma puun untuk keperluan puun beserta keluarganya selama ia menduduki jabatan tersebut; (3) huma tangtu disediakan untuk keperluan penduduk Tangtu (Baduy Dalam); (4) huma tuladan untuk keperluan upacara di daerah Panamping; dan (5) huma panamping untuk keperluan penduduk Panamping (Baduy Luar).
Orang Baduy melakukan kegiatan berladang melalui beberapa tahapan. Pertama kali adalah
narawas (tarawas) berarti merintis atau menebas. Kegiatan ini berupa pemilihan lahan huma dan sekaligus mulai disiangi di beberapa tempat terutama pada batas garapan, dengan menggunakan sabit (arit) serta kujang (pisau). Kegiatan ini dilakukan pada bulan kapat (Keempat). Kemudian dilakukan nyacar, merupakan kegiatan membabat rumput, dan memangkas dahan atau ranting agar ladang memperoleh banyak sinar matahari. Kegiatan ini dilakukan pada bulan kalima (Kelima). Berikutnya adalah nukuh merupakan kegiatan mengeringkan rumput, memotong ranting, perdu dan hasil tebasan lainnya. Kegiatan ini dilakukan bulan kanem (Keenam). Setelah itu semua dahan, rumput dan ranting kering langsung ngaduruk (dibakar). Tahap ini dilaksanakan bulan katujuh (Ketujuh). Semua kegiatan tersebut hanya dilakukan oleh kaum pria. Kecuali pada tahap kegiatan ngaseuk (menugal) yaitu membuat lubang kecil dengan tugal dilakukan oleh kaum pria dan wanita memasukan benih padi. Kegiatan ini dilakukan pada bulan kasalapan (Kesembilan). Selesai kegiatan ngaseuk, biasanya dilakukan ngirab sawan atau tahap perawatan yaitu membersihkan ladang dari sampah atau sisa-sisa ranting yang berada di sela-sela rumpun padi dengan menggunakan koret (alat memotong rumput). Umumnya kegiatan ini dilakukan kaum wanita. Tahap terakhir adalah menunggu waktu panen. Khususnya ketika panen tiba menuai atau memotong padi dilakukan bersama, baik oleh wanita maupun kaum prianya dengan menggunakan alat etem (ani-ani). Kemudian hasil panen tersebut diangkut dari huma ke kampung untuk disimpan dalam leuit (lumbung).
Dalam kegiatan di huma terlihat adanya pembagian tugas yang jelas antara kaum pria dan kaum wanita. Tampak di sini bahwa peranan seorang wanita tidak hanya dalam urusan rumah tangga saja namun juga dalam kegiatan ekonomi.
Selain itu, kearifan lingkungan alam dapat dilihat pula dari cara pengolahan ladang, dan alat pertanian yang gunakan, yaitu sabit (arit), pisau (kujang), tuggal (aseuk), dan alat untuk membersihkan rumput yang disebut koret. Di luar alat-alat tersebut mereka tidak diperkenankan menggunakannya. Larang-larangan tersebut semua terkait dengan konsep yang telah di sepakati bersama, bahwa tanah dianggap sakral atau suci. Karena itu tanah harus dijaga dan dipelihara. Sebagai contoh kujang (pisau) yang digunakan di Kanekes bentuknya tipis dan mudah dilengkungkan. Dengan perkakas seperti itu tidak mungkin mereka menebang pohon-pohonan, hanya cabang kecil, ranting, perdu, dan rumput yang dapat dipangkas. Sebenarnya bisa saja mereka menggunakan golok, namun hal itu mereka hindari.
Oleh karena itu sistem pertanian ladang berpindah merupakan sistem pertanian yang paling sesuai dalam memanfaatkan sumber daya alam di kalangan orang Baduy. Menurut anggapan mereka merubah cara-cara bertani, merupakan suatu tindakan yang bersifat tabu, hal ini dijumpai pada ungkapan mereka yaitu,
".... gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak..." Maksudnya "gunung tidak boleh dihancurkan, lembah tidak boleh dirusak." Apabila pantangan itu dilanggar oleh siapapun, maka akibatnya "cita-cita" menjadi ratu tidak akan tercapai, menurunkan derajat dan wibawa, kalah perang, dan seluruh negeri akan menderita." Ungkapan tersebut merupakan suatu "kearifan" orang Baduy, yang perlu kita renungkan saat ini dalam upaya memelihara dan menjaga kelestarian alam, agar keberlangsungan kehidupan umat manusia, kesejahteraan rakyat terwujud, dalam menghadapi tantangan zaman baik secara lokal, regional maupun global.

Sumber Bacaan

Kusdinar, A. 2004. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Lebak dalam Penanganan Komunitas Adat Terpencil Baduy. http://www. kawasan. or. id (Download 7 Desember 2006).

Parlupi, B. dan Agus J. 2003. Menjelajah Baduy, Mengunjungi Tanah Leluhur. Harian Suara Pembaruan. http://www. katcenter. info. (Download, 26 Januari 2007).

Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No. 32 Tahun 2001 Tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Lebak-Banten

Anzar, Chandra, Farhan, Hami, Indri, Supriatna. 2007. Kearifan Tradisional Masyarakat Adat Baduy, Laporan (tidak di publikasikan). Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor